Benarkah FILSAFAT Induk Ilmu???
Lantas Apa sebenarnya FILSAFAT itu ???
@mahyudinbinol01
Sejak
dahulu kala banyak yang menanyakan atau sering mempertanyakan hal ini. Realitanya
sampai saat ini masih banyak orang mengira bahwa Filsafat itu adalah hal yang
rahasia, mistik, dan penuh misteri. Adapula yang menyatakan bahwa filsafat
adalah kombinasi dari astrologi, teologi dan psikologi. Selain itu
karena filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan (mater
scrintiarum) maka cukup banyak pula orang yang menganggap filsafat
sebagai ilmu yang paling istimewa, ilmu yang menduduki tempat paling tinggi
diantara seluru ilmu pengetahuan yang ada. Karena itu filsafat hanya bisa
dipahami oleh orang-orang jenius, sehingga dianggap terlalu sulit dan pelik.
Sebaliknya adapula yang menganggap filsafat hanyalah “omong kosong” yang
tidak memiliki kegunaan praktis, dimana filsafat adalah sejenis “ilmu” yang
mengawang tanpa memiliki dasar pijakan yang konkreet yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena filsafat berbicara tentang apa
saja, padahal suatu disiplin ilmu hanya mengacu pada satu obyek tertentu,
maka filsafat tidak dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu.
Keunggulan
manusia yang tidak dimiliki oleh
mahluk-mahluk lain diantaranya yaitu keingintahuannya yang sangat dalam
terhadap sesuatu di alam semesta ini, sesuatu yang diketahui oleh manusia itu
disebut pengetahuan. Bahwa apabila pengetahuan itu diperoleh melalui indera
manusia, disebut pengetahuan indera (pengetahuan biasa). Jika pengetahuan
tersebut diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu serta bersifat
universal disebutlah pengetahuan itu sebagai pengetahuan ilmiah. Selanjutnya
apabila pengetahuan itu diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya
(komtemplasi) sampai kepada hakikatnya, munculah pengetahuan filsafat. Jika
pengetahuan itu bersumber dari keyakinan terhadap ajaran suatu agama,
pangetahuan semacam itu disebut pengetahuan agama. Bahwa dengan demikian
kebenaran itu dapat berupa kebenaran inderawi, kebenaran ilmiah, kebenaran filsafat,
dan kebenaran agama.[1]
Sesungguhnya
pengetahuan itu tidaklah sama dengan “ilmu” atau yang setingkali juga disebut
“ilmu pengetahuan” (science). Menurut Poedjawijatna[2],
kebanyakan pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi manusia.
Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya sendiri atau
seringkali juga dari orang lain, yang biasanya digunakan untuk keperluan
hidup sehari-hari atau sekedar untuk tahu. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan
yang mempunyai obyek, metode dan sistematika tertentu. Unsur lain yang
ditambahkan disini bahwa ilmu juga bersifat universal.
Mengutip
apa yang dikalitmatkan Harry Hamersma[3] filsafat
itu datang sebelum dan sesudah ilmu, dikatakan sebelum ilmu karena semua ilmu
yang khusus seperti yang banyak terdapat dewasa ini, bermula dari filsafat.
Sehingga tidak mengherankan banyak filsuf terkemuka didunia ini sekaligus
ilmuwan-ilmuwan besar, seperti : Aristoteles, Rene Descartes, Auguste Comte,
Hegel, Leibniz, Pascal, Hume, Immanuel Kant, Whitehead dan Einstein.
Filsafat
menurut Hamersma adalah tempat pertanyaan-pertanyaan seperti itu dikumpulkan,
diterangkan dan diteruskan. Kalaupun filsafat “berhasil” memberikan suatu
jawaban bukan berarti pekerjaan filsafat menjadi selesai. Sedangkan Magnis
Suseno (1992:20)[4] menegaskan
bahwa jawaban-jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Karena itu
filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah
masalah. Magnis Suseno juga mengatakan masalah-masalah filsafat adalah
masalah manusia sebagai manusia dan karena manusia di satu pihak tetap
manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah. Masalah-masalah baru filsafat
adalah masalah-masalah lama manusia.
Gambaran
dari hal diatas, dapatlah ditunjukkan bahwa persoalan asal-usul alam semesta
yang pernah dipertanyakan oleh Thales, Anaximender, dan Anaximenes sekitar
tahun 600 SM, tetap menjadi kajian aktual dan dipertanyakan oleh Stephen
Hawking yang digelari sebagai ahli fisika teoritis paling terkemuka abad 20
sesudah Einstein.
Jika ingin diketahui
perbedaan Filsafat dengan dengan ilmu-ilmu lain. Secara simpel Harry Hamersma
membedakannya sebagai berikut: Ilmu adalah pengetahuan yang metodis,
sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan
sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren
tentang seluruh kenyataan.
Filsafat
bisa dikatakan “Ilmu” karena filsafat memang telah memenuhi
syarat untuk itu, yaitu memiliki obyek, metode dan sistematika tertentu serta
terlebih-lebih bersifat universal. Selain sebagai ilmu, kadang-kadang
filsafat sebagai pandangan hidup. Contohnya filsafat sebagai pandangan hidup
ini sangat banyak yang tercermin dalam pepatah, slogan, lambang dan
sebagainya.
Dalam
tulisannya Darmodiharjo(1995:4) menyebutkan pandangan hidup merupakan
petunjuk arah semua kegiatan atau aktifitas hidup (manusia) dalam segala
bidang, demikian juga dengan terminologi filsafat Cina, Filsafat India,
Filsafat Liberalisme, dan Filsafat Pancasila adalah terminologi dalam
pengertian filsafat sebagai pandanga hidup.
Dari
uraian sebelumnya, filsafat apabila diartikan sebagai bahagian ilmu salah
satu unsurnya adalah ia harus mempunyai obyek tertentu. Obyek suatu ilmu,
menurut Poedjawijatna dapat dibedakan menjadi obyek Material dan obyek
Formal. Obyek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu,
sedangkan obyek formal adalah sudut pandang tertentu yang menentukan jenis
suatu ilmu. Jadi dapat terjadi ada lebih dari satu ilmu yang mempunyai obyek
materia yang sama,misalnya ilmu hayat (biologi) dan ilmu jiwa (psikologi)
memiliki obyek materia yang sama, yaitu tentang mahkluk hidup, tetapi obyek formanya
berlainan karena yang pertama menyelidiki mahluk hidup dari luar (fisiknya)
sedangkan yang kedua menyelidiki mahluk hidup dari dalam (rohani atau
batinnya)
Oleh
karena itu, Obyek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada
(Poedjawijatna, 1986: 9). Pada intinya, obyek materia filsafat ini, menurut
Anshari (1982: 87-88)[5] dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hakekat tuhan, hakekat alam, dan hakekat
manusia. Obyek materia seperti ini mungkin saja sama dengan obyek ilmu
lainnya, sedangkan yang membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya adalah obyek
formanya saja. Obyek forma filsafat adalah sudut pandangnya yang tidak
membatasi diri, dan hendak mencari keterangan sampai sedalam-dalamnya atau
sampai pada hakekat sesuatu. Jadi, benarlah jika dikatakan bahwa filsafat
adalah ilmu tanpa batas. Dengan kata atau bahasa lain, filsafat dikenal
dengan sebutan philosophy (Inggris), philosophie (Perancis
dan Belanda), filosofie, wijsbegeerte (Belanda), philosophia (Latin).
Kata “filsafat” ini diambil dari bahasa Arab, yaitu “falsafah”. Secara
etimologis, filsafat atau falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,
yaitu philos atau filo yang artinya cinta
(dalam arti seluas-luasnya), dan sophia atau sofia yang
artinya kebijaksanaan. Jadi, dari sudut asal-usul katanya, filsafat dapat
diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
makanya
istilah philosophia (bahasa Yunani) telah di-Indonesiakan
menjadi “filsafat”, seyogyanya ajektivanya ialah “filsafati”
dan bukan “filosofis”. Apabila mengacu pada orangnya, kata yang
tepat digunakan ialah “filsuf” dan bukan “filosof”. Kecuali bila
digunakan kata “filosofi” dan bukan “filsafat”, maka
ajektivanya yang tepat ialah “filosofis”, sedangkan yang mengacu kepada
orangnya ialah kata “filosof”.
Sesuai
dengan tradisi masa lampau, istilah philosophia telah
digunakan pertama kali oleh Pythagoras (sekitas abad ke-6 SM). Ketika
diajukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati
Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalah philosophia, yakni
orang yang mencintai pengetahuan. Akan tetapi, kebenaran kisah itu sangat
diragukan karena pribadi dan kegitan Phitagoras telah bercampur dengan
berbagai legenda; bahkan, tahun kelahiran dan kematiannya pun tak diketahui
dengan pasti. Yang jelas pada masa Sokrates dan Plato, istilah philosophia sudah
cukup populer. [6]
Filsuf-filsuf
sebelum masa Sokrates mempertanyakan
tentang awal atau asal mula alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa
meminta bantuan Mythos atau Mitos. Oleh
sebab itu bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami
hakikat alam dan realitas yang ada dengan mengandalkan akal budi.
Banyak
ide Plato tentang filsafat. Antara lain, Plato pernah mengatakan bahwa
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan
murni. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan
tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang
ada.
Selain
itu, Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai
filsafat. Antara lain, ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari
realitas ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang berupaya
mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada
sebagaimana adanya” (being as such.)
Rene Des Cartes,
filsuf Perancis yang termasyur dengan argumen je pense, donc je
suis, atau dalam bahasa latin cogito ergo sum (“aku
berfikir maka aku ada”), mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari
segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan,
alam dan manusia.(Jan Hendrik. 1996:14-15).
Filsuf
Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatisme dan pluralisme William James,
, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas
dan terang. R.F Berling, yang pernah menjadi guru besar Filsafat di
Universitas Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mangatakan
bahwa filsafat “memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau
tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan”.(Berling, 1966:22).[7] Berling
juga mangatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau
akar kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri
sendiri.
Tulisan
ini sebenarnya tidak cukup untuk mengejawantahkan apa makna sesungguhnya dari
Filsafat. setidaknya pengertian tentang filsafat dapat dideskripsikan. Gerard
Beekman (1984:14)[8] mengatakan,
bahwa pertanyaan tentang apakah filsafat itu, sama tuanya dengan filsafat itu
sendiri. Pertanyaan ini msh tetap diajukan dan telah dijawab dengan cara-cara
yang berlainan. Beekman kemudian memberikan beberapa definisi dari para ahli,
yang satu sama lain berbeda, bergantung pada sudut pandang yang digunakan.
Kiranya terlalu berpanjang lebar untuk menyebutkan definisi tersebut satu
persatu. Untuk itu sebagai tahap awal memasuki dunia filsafat, pengertian
yang diberikan oleh Harry Hamersma di atas dapatlah dipegang sebagai definisi
sementaara tentang apa yang dimaksud dengan filsafat. Apabila batasan itu
ingin lebih dilengkapi, batasan filsafat menjadi sebagai berikut:
Filsafat (dalam arti
ilmu) adalah pengetahuan yang metodis, (menyeluruh dan universal), dan
kemudian (dalam arti pandangan hidup) adalah petunjuk arah kegiatan
(aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupannya.
Apabila
kita kaji lebih dalam, Filsafat dengan demikian memiliki paling tidak tiga
sifat yang pokok, yaitu: (1) menyeluruh; (2) mendasar; dan (3) spekulatif
(Suriasumantri, 1985:20-22)[9]. Sifat
menyeluruh mengandung arti, bahwa cara berfikir filsafat tidak lah sempit
(fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari setiap
sudut yang ada. Tiap sudut itu dianalisis secara mendalam, sampai
keakar-akarnya. Inilah yang dimaksud dengan sifat kedua, yaitu mendasar atau
radikal. Untuk dapat menganalisis suatu persoalan secara mendasar itu memang
tidak mudah, mengingat pertanyaan yang berada diluar jangkauan “ilmu biasa”.
Dalam hal ini, filsafat menggunakan ciri ketiga, yaitu spekulatif. Tentu saja
langkah-langkah spekulatif tidak boleh sembarangan, tetapi harus memiliki
dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal lain yang tak
kalah penting untuk ditambahkan adalah sifat reflektif kritis dari filsafat.
Refleksi berarti pengendapan dari apa yang dipikirkan secara berulang-ulang
dan mendalam (kontemplatif). Pengendapan itu dilakukan untuk memperoleh
pengetahuan atau jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi, dan ini dilakukan
secara terus-menerus. Kritis berarti analisis yang dibuat oleh filsafat tidak
berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Jika hanya fakta yang
dianalisis, berarti subyek (manusia) tersebut baru melakukan observasi dan
hasilnya adalah gejal-gejala semata. Pada analisi nilai, hasilnya bukan
gejala-gejala semata tetapi Hakikat.
Daftar Pustaka
[1] Darmodiharjo, Darji.
1995. Pokok-pokok Filsafat hukum. Apa Dan Bagaimana
Filsafat Hukum
Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
[2] Poedjawijatna, I.R. 1986. Etika
Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Bina Aksara .
[3] Hamerma, H. 1992. Tokoh-tokoh
Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia
[4] Franz Magnis-Suseno.1992. Filsafat
kebudayaan politik: butir-butir pemikiran
kritis: Jakarta: Gramedia
[5] Anshari. 1982. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
[6] Jan Hendrik Rapar. 1996. PengantarFilsafat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
[7] R.F. Berling. 1966. Filsafat
Dewasa Ini. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
[8] Gerard Beekman. 1984. Filsafat,
Para Filsuf, Berfilsafat. Terj. R. A. Rivai. Jakarta: Penerbit
Airlangga
[9] Suriasumantri. 1985. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan
|
Sabtu, 20 Juni 2020
Filsafat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar