Sabtu, 20 Juni 2020

Filsafat


Benarkah FILSAFAT Induk Ilmu???

Lantas Apa sebenarnya FILSAFAT itu ???

@mahyudinbinol01

Sejak dahulu kala banyak yang menanyakan atau sering mempertanyakan hal ini. Realitanya sampai saat ini masih banyak orang mengira bahwa Filsafat itu adalah hal yang rahasia, mistik, dan penuh misteri. Adapula yang menyatakan bahwa filsafat adalah kombinasi dari astrologi, teologi dan psikologi. Selain itu karena filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan (mater scrintiarum) maka cukup banyak pula orang yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang paling istimewa, ilmu yang menduduki tempat paling tinggi diantara seluru ilmu pengetahuan yang ada. Karena itu filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang jenius, sehingga dianggap terlalu sulit dan pelik. Sebaliknya adapula yang menganggap filsafat hanyalah “omong kosong” yang tidak memiliki kegunaan praktis, dimana filsafat adalah sejenis “ilmu” yang mengawang tanpa memiliki dasar pijakan yang konkreet yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena filsafat berbicara tentang apa saja, padahal suatu disiplin ilmu hanya mengacu pada satu obyek tertentu, maka filsafat tidak dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu.
Keunggulan  manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain diantaranya yaitu keingintahuannya yang sangat dalam terhadap sesuatu di alam semesta ini, sesuatu yang diketahui oleh manusia itu disebut pengetahuan. Bahwa apabila pengetahuan itu diperoleh melalui indera manusia, disebut pengetahuan indera (pengetahuan biasa). Jika pengetahuan tersebut diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu serta bersifat universal disebutlah pengetahuan itu sebagai pengetahuan ilmiah. Selanjutnya apabila pengetahuan itu diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya (komtemplasi) sampai kepada hakikatnya, munculah pengetahuan filsafat. Jika pengetahuan itu bersumber dari keyakinan terhadap ajaran suatu agama, pangetahuan semacam itu disebut pengetahuan agama. Bahwa dengan demikian kebenaran itu dapat berupa kebenaran inderawi, kebenaran ilmiah, kebenaran filsafat, dan kebenaran agama.[1]
Sesungguhnya pengetahuan itu tidaklah sama dengan “ilmu” atau yang setingkali juga disebut “ilmu pengetahuan” (science). Menurut Poedjawijatna[2], kebanyakan pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi manusia. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya sendiri atau seringkali juga dari orang lain, yang biasanya digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari atau sekedar untuk tahu. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai obyek, metode dan sistematika tertentu. Unsur lain yang ditambahkan disini bahwa ilmu juga bersifat universal.
Mengutip apa yang dikalitmatkan Harry Hamersma[3] filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu, dikatakan sebelum ilmu karena semua ilmu yang khusus seperti yang banyak terdapat dewasa ini, bermula dari filsafat. Sehingga tidak mengherankan banyak filsuf terkemuka didunia ini sekaligus ilmuwan-ilmuwan besar, seperti : Aristoteles, Rene Descartes, Auguste Comte, Hegel, Leibniz, Pascal, Hume, Immanuel Kant, Whitehead dan Einstein.
Filsafat menurut Hamersma adalah tempat pertanyaan-pertanyaan seperti itu dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Kalaupun filsafat “berhasil” memberikan suatu jawaban bukan berarti pekerjaan filsafat menjadi selesai. Sedangkan Magnis Suseno (1992:20)[4] menegaskan bahwa jawaban-jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Magnis Suseno juga mengatakan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah. Masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia.
Gambaran dari hal diatas, dapatlah ditunjukkan bahwa persoalan asal-usul alam semesta yang pernah dipertanyakan oleh Thales, Anaximender, dan Anaximenes sekitar tahun 600 SM, tetap menjadi kajian aktual dan dipertanyakan oleh Stephen Hawking yang digelari sebagai ahli fisika teoritis paling terkemuka abad 20 sesudah Einstein.
Jika ingin diketahui perbedaan Filsafat dengan dengan ilmu-ilmu lain. Secara simpel Harry Hamersma membedakannya sebagai berikut: Ilmu adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan.
Filsafat bisa dikatakan “Ilmu” karena filsafat memang telah memenuhi syarat untuk itu, yaitu memiliki obyek, metode dan sistematika tertentu serta terlebih-lebih bersifat universal. Selain sebagai ilmu, kadang-kadang filsafat sebagai pandangan hidup. Contohnya filsafat sebagai pandangan hidup ini sangat banyak yang tercermin dalam pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.
Dalam tulisannya Darmodiharjo(1995:4) menyebutkan pandangan hidup merupakan petunjuk arah semua kegiatan atau aktifitas hidup (manusia) dalam segala bidang, demikian juga dengan terminologi filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Liberalisme, dan Filsafat Pancasila adalah terminologi dalam pengertian filsafat sebagai pandanga hidup.
Dari uraian sebelumnya, filsafat apabila diartikan sebagai bahagian ilmu salah satu unsurnya adalah ia harus mempunyai obyek tertentu. Obyek suatu ilmu, menurut Poedjawijatna dapat dibedakan menjadi obyek Material dan obyek Formal. Obyek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu, sedangkan obyek formal adalah sudut pandang tertentu yang menentukan jenis suatu ilmu. Jadi dapat terjadi ada lebih dari satu ilmu yang mempunyai obyek materia yang sama,misalnya ilmu hayat (biologi) dan ilmu jiwa (psikologi) memiliki obyek materia yang sama, yaitu tentang mahkluk hidup, tetapi obyek formanya berlainan karena yang pertama menyelidiki mahluk hidup dari luar (fisiknya) sedangkan yang kedua menyelidiki mahluk hidup dari dalam (rohani atau batinnya)
Oleh karena itu, Obyek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna, 1986: 9). Pada intinya, obyek materia filsafat ini, menurut Anshari (1982: 87-88)[5] dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hakekat tuhan, hakekat alam, dan hakekat manusia. Obyek materia seperti ini mungkin saja sama dengan obyek ilmu lainnya, sedangkan yang membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya adalah obyek formanya saja. Obyek forma filsafat adalah sudut pandangnya yang tidak membatasi diri, dan hendak mencari keterangan sampai sedalam-dalamnya atau sampai pada hakekat sesuatu. Jadi, benarlah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu tanpa batas. Dengan kata atau bahasa lain, filsafat dikenal dengan sebutan philosophy (Inggris), philosophie (Perancis dan Belanda), filosofie, wijsbegeerte (Belanda), philosophia (Latin). Kata “filsafat” ini diambil dari bahasa Arab, yaitu “falsafah”. Secara etimologis, filsafat atau falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos atau filo yang artinya cinta (dalam arti seluas-luasnya), dan sophia atau sofia yang artinya kebijaksanaan. Jadi, dari sudut asal-usul katanya, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
makanya istilah philosophia (bahasa Yunani) telah di-Indonesiakan menjadi “filsafat”, seyogyanya ajektivanya ialah “filsafati” dan bukan “filosofis”.  Apabila mengacu pada orangnya, kata yang tepat digunakan ialah “filsuf” dan bukan “filosof”. Kecuali bila digunakan kata “filosofi” dan bukan “filsafat”, maka ajektivanya yang tepat ialah “filosofis”, sedangkan yang mengacu kepada orangnya ialah kata “filosof”.
Sesuai dengan tradisi masa lampau, istilah philosophia telah digunakan pertama kali oleh Pythagoras (sekitas abad ke-6 SM). Ketika diajukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalah philosophia, yakni orang yang mencintai pengetahuan. Akan tetapi, kebenaran kisah itu sangat diragukan karena pribadi dan kegitan Phitagoras telah bercampur dengan berbagai legenda; bahkan, tahun kelahiran dan kematiannya pun tak diketahui dengan pasti. Yang jelas pada masa Sokrates dan Plato, istilah philosophia sudah cukup populer. [6]
Filsuf-filsuf sebelum  masa Sokrates mempertanyakan tentang awal atau asal mula alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa meminta bantuan Mythos atau Mitos. Oleh sebab itu bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas yang ada dengan mengandalkan akal budi.
Banyak ide Plato tentang filsafat. Antara lain, Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Selain itu, Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai filsafat. Antara lain, ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya” (being as such.)
Rene Des Cartes, filsuf Perancis yang termasyur dengan argumen je pense, donc je suis, atau dalam bahasa latin cogito ergo sum (“aku berfikir maka aku ada”), mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.(Jan Hendrik. 1996:14-15).
Filsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatisme dan pluralisme William James, , filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang. R.F Berling, yang pernah menjadi guru besar Filsafat di Universitas Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mangatakan bahwa filsafat “memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan”.(Berling, 1966:22).[7] Berling juga mangatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau akar kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri.
Tulisan ini sebenarnya tidak cukup untuk mengejawantahkan apa makna sesungguhnya dari Filsafat. setidaknya pengertian tentang filsafat dapat dideskripsikan. Gerard Beekman (1984:14)[8] mengatakan, bahwa pertanyaan tentang apakah filsafat itu, sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Pertanyaan ini msh tetap diajukan dan telah dijawab dengan cara-cara yang berlainan. Beekman kemudian memberikan beberapa definisi dari para ahli, yang satu sama lain berbeda, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Kiranya terlalu berpanjang lebar untuk menyebutkan definisi tersebut satu persatu. Untuk itu sebagai tahap awal memasuki dunia filsafat, pengertian yang diberikan oleh Harry Hamersma di atas dapatlah dipegang sebagai definisi sementaara tentang apa yang dimaksud dengan filsafat. Apabila batasan itu ingin lebih dilengkapi, batasan filsafat menjadi sebagai berikut:
Filsafat (dalam arti ilmu) adalah pengetahuan yang metodis, (menyeluruh dan universal), dan kemudian (dalam arti pandangan hidup) adalah petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupannya.
                Apabila kita kaji lebih dalam, Filsafat dengan demikian memiliki paling tidak tiga sifat yang pokok, yaitu: (1) menyeluruh; (2) mendasar; dan (3) spekulatif (Suriasumantri, 1985:20-22)[9]. Sifat menyeluruh mengandung arti, bahwa cara berfikir filsafat tidak lah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari setiap sudut yang ada. Tiap sudut itu dianalisis secara mendalam, sampai keakar-akarnya. Inilah yang dimaksud dengan sifat kedua, yaitu mendasar atau radikal. Untuk dapat menganalisis suatu persoalan secara mendasar itu memang tidak mudah, mengingat pertanyaan yang berada diluar jangkauan “ilmu biasa”. Dalam hal ini, filsafat menggunakan ciri ketiga, yaitu spekulatif. Tentu saja langkah-langkah spekulatif tidak boleh sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal lain yang tak kalah penting untuk ditambahkan adalah sifat reflektif kritis dari filsafat. Refleksi berarti pengendapan dari apa yang dipikirkan secara berulang-ulang dan mendalam (kontemplatif). Pengendapan itu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan atau jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi, dan ini dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis yang dibuat oleh filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Jika hanya fakta yang dianalisis, berarti subyek (manusia) tersebut baru melakukan observasi dan hasilnya adalah gejal-gejala semata. Pada analisi nilai, hasilnya bukan gejala-gejala semata tetapi Hakikat.


Daftar Pustaka
[1]  Darmodiharjo, Darji. 1995. Pokok-pokok Filsafat hukum. Apa Dan Bagaimana
      Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[2] Poedjawijatna, I.R. 1986. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Bina Aksara .
[3] Hamerma, H. 1992. Tokoh-tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia
[4] Franz Magnis-Suseno.1992. Filsafat kebudayaan politik: butir-butir pemikiran
    kritis: Jakarta: Gramedia
[5] Anshari. 1982. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
[6] Jan Hendrik Rapar. 1996. PengantarFilsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
[7] R.F. Berling. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
[8] Gerard Beekman. 1984. Filsafat, Para Filsuf, Berfilsafat. Terj. R. A. Rivai. Jakarta: Penerbit Airlangga
[9] Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar