KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa Allah Swt, karena
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya semata sehingga penyusunan Makalah yang bertajuk
Tindak Pidana Kepabeanan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1995 Pasal 102 sampai dengan 110, dapat terselesaikan.
Dalam proses penulisan Makalah ini, Penulis menyadari bahwa
masih banyak terdapat kekurangan baik dalam komposisi makalah maupun tata
bahasa yang digunakan. Kekurangan ini merupakan bagian dari proses pembelajaran
bagi penulis, oleh karenanya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif agar dikemudian hari penulis dapat memperbaiki
kekurangan-kekurangan tersebut, sehingga penulisan berikut dapat lebih baik.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sebagai bahan referensi demi
menambah khasanah pengetahuan tentang Legislasi Kepabeanan di Indonesia.
Penulis,
Mahyudin
Binol
|
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………... i
Kata Pengantar………………………………………………….. ii
Daftar Isi…………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………… 1
A. Latar Belakang Permasalahan……………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………….. 3
BAB
II PEMBAHASAN ……………………………………….. 3
2.1. Tindak Pidana Kepabeanan……….…………………… 3
2.2.
Pasal-pasal Delik Pidana Kepabeanan pada Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 Tentang
Kepabeanan……………… 6
BAB III PENUTUP……………………………………………. 14
3.1. Kesimpulan…………………………………...................... 14
3.2. Saran……………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………............ 15
BIOGRAFI PENULIS………………………………………….. 16
BAB I PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang Masalah
Tindak pidana kepabeanan di Indonesia masih
terbilang tinggi, baik frekwensi maupun nilai kerugian negaranya. Selama tahun
2005 dan tahun berjalan 2006, jumlah penangkapan dari hasil pengawasan di
kawasan pabean masing-masing 164 dan 118 dengan kerugian negara masing-masing
Rp11,6M dan Rp20,2M. Sedangkan data tangkapan dari hasil patroli laut Ditjen
Bea dan Cukai untuk tahun 2005 dan tahun berjalan 2006 masing-masing 128 dan 89
kali penangkapan dengan nilai kerugian negara ditaksir Rp10,9M dan Rp 4,8M.
Untuk rincian dan jelasnya lihat table 1,2,3 dan 4. Dapat diduga bahwa tindak
pidana kepabeanan yang tidak diketahui atau tidak tertangkap jauh lebih besar
lagi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995
Tentang Kepabeanan, Keputusan Presiden No. 109 tahun 2001 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen yang telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden No.23/2004 dan Keputusan Menteri Keuangan
No. 302/KMK.01/2004, tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah :
1.
Pelayanan dan Pengawasan lalu lintas barang masuk dan keluar
wilayah Republik Indonesia;
2.
Pemungutan Penerimaan Negara berupa Bea Masuk (dan Cukai).
Fungsi pelayanan adalah tugas DJBC
untuk menjamin kelancaran arus barang dan dokumen dengan efisien dan efektif,
tidak ada ekonomi biaya tinggi, mendorong peningkatan perdagangan dan daya
saing. Fungsi pengawasan terutama pengawasan lalu lintas barang dalam
rangka melindungi kepentingan masyarakat dari upaya-upaya memasukkan barang
yang dapat merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat, merugikan konsumen, dan
membahayakan keamanan negara. Pengawasan juga mengandung makna tugas pemerintah
yang dalam hal ini DJBC untuk melindungi industri dalam negeri dari masuknya
barang-barang ilegal dan dumping, serta tugas untuk melancarkan ekspor
Indonesia, dan mencegah ekspor ilegal baik fisik ataupun hanya dokumen. Fungsi pemungutan
adalah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari Bea Masuk & PDRI (Pajak
Dalam Rangka Impor), serta mencegah kebocoran penerimaan negara, agar target
yang sudah ditetapkan APBN tercapai.
Dengan demikian jelas betapa besar dan berat
tugas dan tanggungjawab DJBC, khususnya dalam mencegah dan menindak tegas
pelanggaran dan tindak pidana kepabeanan yang dapat menimbulkan kerugian negara
dalam arti luas, yaitu finansial, keamanan, kesehatan, gangguan perdagangan dan
industri/investasi dalam negeri, serta kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
b.
Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang masalah yang
dijelaskan diatas maka dapat dikemukakan Rumusan Masalah tentang :
1.
Apa saja Tindak Pidana Kepabeanan menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 ?
2.
Apa saja Pasal-pasal Delik aduan Kepabeanan menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 ?
c.
Tujuan Penulisan
Adapun Penulisan Makalah tentang Tindak Pidana
Kepabeanan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Tindak Pidana Kepabeanan menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995.
2.
Untuk mengetahui Pasal-pasal Delik aduan Kepabeanan menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1.
Tindak Pidana Kepabeanan
Dilihat dari penggolongan delik pidana,
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 membagi secara jelas perumusan tindak pidana
menjadi dua, yaitu pelanggaran dan Tindak Pidana (Kejahatan) Kepabeanan. Lebih
spesifik lagi Tindak Pidana Kepabeanan dirinci menjadi Tindak Pidana
Penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Tindak Pidana Kepabeanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 103. Tindak pidana lain yang dapat disamakan
dengan Tindak Pidana umum dapat dilihat dalam pasal 104 sampai dengan pasal
109.
2.1.1.
Pelanggaran
Undang-Undang Kepabeanan tidak memberi batasan
atau pengertian tentang pelanggaran namun dari ketentuan pada beberapa pasal
yang ada telah menegaskan beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh Pengguna
Jasa Kepabeanan, mulai dari Pengangkut, Importir, Eksportir, Pengusaha Gudang
Berikat atau ‘barang siapa’ yang secara hukum kepabeanan diwajibkan melakukan
sesuatu untuk memenuhi kewajiban pabean. Pengingkaran terhadap
kewajiban-kewajiban kepabeanan tersebutlah yang secara umum diterima sebagai
pelanggaran dengan penegasan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran
kewajiban kepabeanan tersebut.
Beberapa pasal mengatur kewajiban tersebut seperti kewajiban
Pengangkut yang diatur dalam pasal 7, pasal 11, pasal 90, dan pasal 92,
kewajiban importir pada pasal 8 dan pasal 9, kewajiban Eksportir pada pasal 10,
kewajiban Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat pada pasal 43, pasal 44 dan pasal
45, serta beberapa kewajiban Pengguna Jasa Kepabeanan lainnya.
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut pada
dasarnya diatur dalam pasal 82 yang mempertegas sanksi yang wajib dibayar
sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menguji
kepatuhan para pengguna jasa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
dalam menyelesaikan kewajiban pabean dan membayar kewajiban Bea Masuk dan
pungutan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Pengaturan ini menganut azas yang
lazim dikenal dengan strict compliance rule dimana setiap pasal mengatur secara
tegas kewajiban dan sanksi yang timbul akibat ketidakpatuhan.
2.1.2.
Tindak Pidana Penyelundupan
Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995 menyebutkan
bahwa “barangsiapa yang mengimpor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang
tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan
penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kemudian, penjelasan pasal ini menambahkan bahwa “yang dimaksud
dengan tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini adalah sama sekali
tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam
Undang-Undang ini”.
Pasal dan penjelasan ini menimbulkan
perdebatan tentang pengertian penyelundupan karena telah terjadi
perbedaan penafsiran yang cukup mendasar, baik oleh Pengguna Jasa maupun oleh masyarakat.
Pengertian penyelundupan dalam pasal ini bersifat membatasi sehingga oleh
banyak pihak dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini terjadi karena di
sebahagian masyarakat telah memberikan pengertian yang sangat luas terhadap
penyelundupan. Masyarakat menilai bahwa setiap pelanggaran kepabeanan merupakan
tindak pidana penyelundupan, sementara dalam international best practices in
customs matters secara spesifik membedakan antara penyelundupan (smuggling)
dengan tindak pelanggaran lainnya yang lazim disebut sebagai Customs Fraud.
Bahkan sebagian besar anggota masyarakat telah
mencampur-adukkan pengertian penyelundupan ini, tidak saja dalam bidang ekspor
dan impor, bahkan kesalahan dalam pengiriman perdagangan antar pulau pun
dimasukkan dalam pengertian penyelundupan.
Pembedaan pengertian antara penyelundupan dengan pelanggaran
pabean lainnya ini menimbulkan pula pembedaan hukuman yang secara tegas
dimana setiap kasus penyelundupan dipidana dengan pidana penjara, sementara
pelanggaran kepabeanan diselesaikan dengan pemberian sanksi yang tegas sesuai
dengan azas strict compliance rule yang telah lazim dilaksanakan.
Dalam praktek kepabeanan internasional,
pembedaan tersebut merupakan hal yang sudah baku sehingga secara tegas dalam
penjelasan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai salah satu aspek yang sangat
diperhatikan dalam pembentukannya.
2.1.3.
Tindak Pidana
Kepabeanan Lainnya
Disamping pidana pelanggaran dan penyelundupan, tindak pidana di
bidang kepabeanan juga terdapat dalam pasal 103, pasal 104, pasal 105, pasal
106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.
Pasal 103 juga merupakan pasal yang mengatur Pidana Kepabeanan,
dimana tindak pidana kepabeanan dalam pasal ini meliputi :
a.
Menyerahkan pemberitahuan pabean dan atau dokumen pelengkap
pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis PALSU yang digunakan
untuk pemenuhan kewajiban pabean.
b.
Mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau dari tempat
penimbunan berikat tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud
mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan atau pungutan negara lainnya dalam rangka
impor.
c.
Membuat, menyimpan, atau turut serta dalam penambahan data palsu
ke dalam buku atau catatan, atau
d.
Menimbun, menyimpan dan sebagainya barang impor yang berasal
dari tindak pidana penyelundupan.
Dari keempat jenis tindak pidana kepabeanan
ini secara jelas dapat terlihat mengatur khusus pelanggaran atas kewajiban
kepabeanan yang sangat berbeda dengan Pasal-pasal pelanggaran.
Butir a, misalnya, menegaskan adanya
kesengajaan menyerahkan dokumen palsu yang secara umum sebenarnya juga diatur
dalam pasal-pasal pemalsuan yang ada dalam hukum pidana.
Demikian juga pasal-pasal lainnya dimana
secara umum sebenarnya juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) namun secara tegas diatur kembali dalam undang-undang ini sebagai
penegasan bahwa Undang-undang Kepabeanan ini merupakan suatu “Lex Specialis
derogate lege generalii”. Bahkan secara tegas Prof. Romli Atmasasmita SH. LLM,
menyatakan bahwa undang-undang ini merupakan suatu hukum yang lebih spesifik
sebagai “lex specialis” yang sistematik karena hukum kepabeanan ini telah :
a.
Mengadop sendiri pasal-pasal pidana umum sebagai pasal pidana
kepabeanan.
b.
Mengatur sendiri hukum acaranya, walau tidak seluruhnya,
sebagaimana diatur dalam pasal 112, dan
c.
Menentukan sendiri kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Bea dan Cukai sebagai penyidik yang absah berdasarkan pasal 6 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perlu pula dicermati bahwa UU ini sangat
memperhatikan aspek kepentingan penerimaan negara sehingga jika kasus pidana
kepabeanan terjadi, kendati sudah dalam taraf penuntutan, Menteri Keuangan
masih dapat meminta penghentian kasus penyidikan sepanjang tersangka melunasi
bea-bea yang seharusnya dibayar sesuai pasal 113.
2.2.
Pasal-Pasal Delik Pidana Kepabeanan Pada Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang
Kepabeanan, semua ketentuan yang menyangkut masalah Ketentuan Pidana telah
diatur pada Bab XIV, mulai dari pasal 102 sampai dengan pasal 110 sebagai
berikut :
2.2.1
Pasal 102 menguraikan
mengenai tindak pidana penyelundupan, yaitu:
“Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba
mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini
dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)”.
Pada Penjelasan Pasal 102 dijelaskan bahwa :
Undang-undang ini telah mengatur atau
menetapkan tata cara atau kewajiban yang harus dipenuhi apabila seorang
mengimpor atau mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau mengekspor
barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan oleh
undang-undang ini diancam dengan pidana berdasarkan pasal ini dengan hukuman
akumulatif berupa pidana penjara dan denda.
Yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan
ketentuan undang-undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan
atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan undang-undang ini. Dengan demikian,
apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan
ketentuan undang-undang ini, walaupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk
perbuatan yang dapat dipidanakan berdasarkan pasal ini.
2.2.2.
Pada pasal 103
diuraikan mengenai Tindak Pidana Kepabenan lainnya, yaitu :
“Barangsiapa yang :
a.
Menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap
pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau
dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean;
b.
Mengeluarkan barang impor dari Kawasan pabean atau dari Tempat
Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk
mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka
impor.
c.
Membuat, menyetujui, atau turut serta dalam penambahan data
palsu ke dalam buku atau catatan; atau
d.
Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar,
memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 102.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau
denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
2.2.3.
Pasal 104 juga
mengatur Tindak Pidana Kepabeanan lainnya, yaitu :
“Barangsiapa yang :
a.
Menyangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 102;
b.
Memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang
buku atau catatan yang menurut undang-undang ini harus disimpan;
c.
Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan
keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan;
atau
d.
Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari
perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan
sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut undang-undang ini,
Dipidanakan dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
2.2.4.
Pada Pasal 105 juga
diatur bahwa :
“Barangsiapa yang :
a.
Membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang
ditentukan menurut undang-undang ini;
b.
Tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau
tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat Bea dan Cukai,
Dipidanakan dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
denda paling banyak Rp150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
2.2.5.
Pada pasal 106 diatur
pula bahwa :
“Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara,
pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau
pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan
kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
dan/atau denda paling banyak Rp125.000.000.00 (seratus dua puluh lima juta
rupiah)
2.2.6.
Sedangkan pada pasal
107 diatur bahwa :
“Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan
Pemberitahuan Pabean atau kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir,
apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan
undang-undang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.”
2.2.7.
Pada Pasal 108 ayat
(4) diatur bahwa :
“(4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan,
perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa
berupa pidana denda paling banyak Rp300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah)
jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak
menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana
penjara dan pidana denda.”
2.2.8.
Pada Pasal 109,
dijelaskan :
1. Barang impor atau ekspor yang
berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a
atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara.
2. Sarana pengangkut yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dapat dirampas untuk negara.
3. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.
Penjelasan: Pasal 109
Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Penuntut Umum namun, barang Import atau ekspor yang
berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk
negara, berdasarkan Undang-undang ini menjadi milik negara
yang
pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.
2.2.9.
Pada
Pasal 110, dijelaskan :
1. Dalam
hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya
diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan terpidana.
2. Dalam
hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi,
pidana denda diganti dengan pidana
kurungan paling lama enam bulan.
2.2.10.
Pasal-Pasal Delik Pidana Kepabeanan Pada Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri
Keuangan sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang sampai dengan saat
ini masih dalam proses pembahasan yang mendalam di DPR RI.
Yang terkait dengan masalah Tindak Pidana
Kepabeanan maka substansi perubahan yang paling mendasar adalah mengenai
perluasan dan penajaman delik-delik pidana di bidang kepabeanan serta
pemberatan sanksi atas tindak pidana tersebut berupa pemberatan pidana penjara
dan pidana denda.
Beberapa usul perubahan pasal pada Bab XIV
yang terkait secara langsung dengan masalah Tindak Pidana Kepabeanan adalah
sebagai berikut :
A.
Pasal 102 yang memberikan penjelasan secara detail mengenai
tindak pidana penyelundupan di bidang impor
Setiap orang yang :
a.
Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (2)
b.
Membongkar barang impor di luar Kawasan Pabean atau tempat lain
tanpa izin Kepala Kantor Pabean
c.
Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam Pemberitahuan
Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat (3)
d.
Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam
pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau
diizinkan
e.
Menyembunyikan barang impor secara melawan hokum
f.
Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan Kewajiban
Pabeannya dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat atau dari
tempat lain dibawah pengawasan pabean tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai
yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang
ini.
g.
Mengangkut barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara atau
Tempat Penimbunan Berikat yang tidak sampai ke Kantor Pabean tujuan dan tidak
dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau
h.
Dengan sengaja memberitahukan salah tentang jenis dan/atau
jumlah barang impor dalam Pemberitahuan Pabean.
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000.00 (lima milyar
rupiah).”
B.
Pasal 102A yang memberikan penjelasan secara detail mengenai
tindak pidana Penyelundupan di bidang Ekspor.
Setiap orang yang :
a.
Mengekspor barang tanpa menyerahkan Pemberitahuan Pabean
b.
Dengan sengaja memberitahukan salah tentang jenis dan/atau
jumlah barang ekspor dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di
bidang ekspor;
c.
Memuat barang ekspor di luar Kawasan Pabean tanpa izin Kepala
Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
d.
Membongkar barang ekspor di dalam Daerah Pabean tanpa izin
Kepala Kantor Pabean; atau
e.
Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang
sah sesuai dengan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 9A ayat
(1);
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.00 (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).
C.
Pasal 102B memberikan penjelasan mengenai tindak pidana
Penyelundupan yang terkait dengan pengangkutan barang tertentu didalam Daerah
Pabean (pengangkutan Antar Pulau).
Setiap Orang yang mengangkut Barang Tertentu yang tidak sampai
ke Kantor Pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar
kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00
(satu milyar rupiah).”
D.
Pasal 103 juga dilakukan pemberatan sanksi pidana penjara dan
pidana denda sebagai berikut :
Setiap orang yang :
a.
Menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap
pabean yang palsu atau dipalsukan.
b.
Membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke
dalam buku atau catatan;
c.
Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang
digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean; atau
d.
Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar,
memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahuinya atau patut harus
diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102,
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000.00
(lima milyar rupiah).”
E. Ditambahkan suatu
delik pidana yang baru pada pasal 103A yaitu terhadap Orang yang mengakses
sistem elektronik secara tidak sah :
1) Setiap orang yang
secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan
dan/atau pengawasan di bidang Kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).
2) Perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara
berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah).”
F. Pada pasal 104 juga
dilakukan pemberatan sanksi pidana dan pidana denda
Setiap orang yang :
a.
Mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, atau Pasal 102B;
b.
Memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau
catatan yang menurut Undang-Undang ini harus disimpan;
c.
Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan
keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan;
atau
d.
Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari
perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan
sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-Undang ini;
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun,
dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000.00 (tiga milyar rupiah)
A. Pada Pasal 105 secara substansi masih tetap sama, hanya
dilakukan usul perubahan dalam pemberatan sanksi pidana penjara dan pidana
denda :
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas,
atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat
Bea dan Cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00
(satu milyar rupiah).
G.
Pada Pasal 107 secara substansi masih tetap, hanya dilakukan
pemberatan sanksi pidana denda, yaitu pada ayat (4) :
(4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan,
perkumpulan, yayasan, atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana
denda paling banyak Rp1.500.000.000.00 (satu setengah milyar rupiah) jika atas
tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan
pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara
dan pidana denda.”
BAB III. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Tindak pidana kepabeanan diyakini masih tinggi di Indonesia.
Perubahan/perbaikan UU No. 10/1995 tentang Kepabeaan di harapkan dapat membantu
peningkatan mutu pelaksanaan tugas dan tanggungjawab DJBC. Perbaikan ini akan
berhasil sepanjang aparat di DJBC sendiri dan aparat penegak hukum lainnya juga
bersungguh-sungguh membantu pelaksanaannya. Reformasi dalam bidang kepabeanan
ini diharapkan akan menempatkan pelaksanaan kepabeanan di Indonesia sejajar
dengan negara-negara lain yaitu lancar, bersih, murah, mudah, dan adil sesuai
dengan prinsip good-governance.
3.2.
Saran
Dengan tersedianya aturan Hukum yang mendasari
Kepabeanan ini, tentu diperlukan pengawasan yang lebih intens dari Pemerintah
agar penerapan aturan serta ketaatan para pelaku kepabeanan di Indonesia dapat
terlaksana, serta diharapkan Pemerintah dalam hal ini direktorat Bea & Cukai dapat lebih berinovasi bukan
saja dengan mempertajam aturan, namun lebih ke Praktek nyata dilapangan
sehingga dapat terwujud Good and Clean
Government.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995, Nomor
3612);
Tidak ada komentar:
Posting Komentar